Seblang: Tarian Sakral dari Ujung Timur Jawa dan Hubungannya dengan Kota Santet

          Sebagai salah satu kota paling ujung timur pulau Jawa, Banyuwangi menyimpan berbagai hal yang menarik, baik dari segi budaya, alam, maupun kearifan lokal. Namun, tulisan kali ini hanya akan membahas tentang salah satu budaya yang terkenal, dan masih terjaga hingga kini. Banyuwangi adalah kota yang sangat luas, lebih dari 20 kecamatan berada di kabupaten ini. Banyak isu dan prasangka yang timbul di benak masyarakat tentang Banyuwangi, salah satunya, terkenal dengan julukan ‘Kota Santet’. Diakui atau tidak, pada dasarnya setiap daerah, terutama di Indonesia, bahkan dunia sekalipun, memiliki ikon atau julukan melekat yang ditimbulkan dari berbagai macam prasangka di masyarakat. Hal ini sebenarnya wajar, dalam psikologi sosial, orang yang tidak memiliki pengetahuan luas terhadap seseorang atau sekelompok orang, memiliki kecenderungan untuk melakukan penilaian secara umum dengan mengeneralisasikan keadaan. Perumpamaan mudahnya seperti ini, kita bertemu dengan salah seorang yang berkulit hitam, kemudian kita sudah mendapatkan informasi bahwa orang kulit hitam itu kejam. Kemudian saat kita dihadapkan dengan salah seorang kulit hitam secara langsung, dan kebetulan orang tersebut bersikap tidak ramah atau melakukan kekerasan, maka kita menyimpan ingatan tersebut, lalu menghubungkannya dengan informasi yang diterima sebelumnya, sehingga kita mengambil kesimpulan, bahwa benar, semua orang kulit hitam itu kejam. Padahal, hal itu hanya dilakukan oleh satu orang, dan tidak cukup valid untuk menilai sekelompok orang, karena setiap manusia berbeda-beda. Hal ini bisa dikatikan dengan teori out group dan in group. Maka, cap seperti: daerah itu rawan, tidak welcome, atau penuh dengan santet, terkadang hanyalah hasil dari prasangka masyarakat saja, belum sepenuhnya benar.

                Akan tetapi, cap Banyuwangi adalah kota Santet juga tidak sepenuhnya bisa dielakkan, karena, barangkali memang ada yang berpraktek semacam di sana. Tetapi, selama 18 tahun saya hidup di Banyuwangi, alhamdulillah semua masih aman terkendali, artinya selama kamu tidak berbuat yang macam-macam, atau pun melanggar aturan dan tidak menyakiti orang lain, everything it’s gonna be okay. Kadang ketakutan dan stigma tercipta karena kita hanya menelan informasi mentah-mentah tanpa melakukan konfirmasi, contoh kecilnya, saya dulu mencap orang papua itu suka marah, tapi saat saya ngobrol sama rekan yang dari Papua, mereka bahkan bersikap ramah, hanya saja, cara mereka bicara memang sudah biasa lantang, hal itu juga didukung dengan kondisi geografisnya, sehingga terkesan seperti orang marah.


 Lalu, bagaimana dengan santet, mistis, dan hubunganya dengan Seblang?



      Jadi menurut kesimpulan saya yang kurang data, hanya berdasar fakta, ada kemungkinan orang mencap Banyuwangi kota santet, karena beberapa adatnya masih menggunakan unsur dinamisme dan animisme. Sebelum ada agama yang resmi diakui pemerintah, Indonesia menganut agama dinamisme dan animisme, sehingga wajar saja kalau upacara adat dan tariannya masih dikaitkan dengan arwah leluhur dan menggunakan unsur mistis. Seblang adalah serangkaian kegiatan adat suku osing, berkaitan dengan upacara bersih desa. Seblang sebenarnya memiliki rangkaian acara yang panjang dan sakral, hanya yang terkenal adalah tentang penarinya. Jadi, seblang sendiri memiliki banyak jenis, tapi yang saya pernah lihat dan terkenal adalah Seblang olehsari. Penari Seblang Olehsari dipilih dengan ritual khusus, dimana para arwah leluhur akan memilih siapa yang akan menjadi penari seblang setiap tahunnya. Penari Seblang harus memiliki darah keturunan, bagi yang sudah terpilih menjadi penari, tidak akan bisa mundur. Sebelum penari beraksi, ada ritual yang harus dilakukan. Tujuan seblang adalah sebagai ucapan rasa syukur, dan pembersihan desa dari berbagai macam kesialan atau paceklik.


        Saat seblang beraksi, penari akan menari selama tujuh hari beturut-turut, ia akan dirasuki arwah. Proses memasukkan arwah, dipimpin oleh seorang dukun, ketika arwah sudah merasuki tubuh, penari akan hilang kesadaran. Pada momen inilah, sakral dan mistisnya adat Seblang ini akan terasa. Seblang menari dengan gerakan yang mengikuti keinginan arwah. Satu lagi, hal yang paling mendebarkan adalah waktu penari dikembalikan menuju kesadaran, proses ini masih dipandu oleh seorang dukun. Pada momen ini, nyawa penari bisa menjadi taruhan kalau dukun tak berhasil mengembalikan arwah dan menyadarkan penari seperti sedia kala, penari seblang bisa saja merenggut nyawa. Hal ini bisa memicu para turis yang menonton untuk memberikan cap atau prasangka, wah ternyata dukunnya Banyuwangi cetar ya, magisnya kerasa, pantas julukannya kota Santet.
Tetapi, ada hal lain yang akan saya soroti, yaitu kisah nyata kehidupan sang penari saat ‘turun panggung’, dibalik kesuksesannya menjadi ‘pembersih desa’, mereka adalah remaja yang punya segudang mimpi. Tetapi, pendidikan para penari Seblang rata-rata hanya lulus SD atau  SMP, agak miris, padahal bagi saya, mereka itulah orang yang melestarikan budaya dan berjasa besar. Tidak bisa dibayangkan apa yang terjadi  kalau mereka tak mau menari? Desanya bisa paceklik, dan bukan cuma itu, adat seblang bisa jadi luntur. Saya berharap lewat tulisan ini, ada yang peduli tentang nasib mereka.

Sekian tulisan yang absurd dan kurang berisi, dan tidak cukup sesuai dengan judulnya ini. 

Kritik dan saran saya tunggu.

Trims,
Rahmita Laily M.
x

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KHAS BANYUWANGI

All About Keluarga 'Lontong Kupang'