Perdebatan Memuakkan Gender (Cewek Vs Cowok), Ada Apa?


Setiap orang dilahirkan dengan kelebihan serta keunikannya masing-masing, tentu saja berlaku untuk laki-laki maupun perempuan. Lalu kenapa di era sekarang, banyak orang berdebat panjang, hanya untuk membahas laki-laki versus perempuan, semua kalangan terus membahas isu ini tanpa henti, mulai dari warung kopi, rumah-rumah, hingga sosial media. Generasi milenial seakan membahas laki-laki dan perempuan sebagai hal yang patut dipertandingan, lihat saja di media, ratusan bahasan dengan topik ini bertebaran di artikel video, komik. Kadang sampai merasa muak sendiri, kenapa laki-laki seakan memojokkan perempuan, dan sebaliknya perempuan mengunggulkan dirinya seakan lelaki itu hanya nomor sekian?

Ada apa dengan dunia ini?

Padahal dari berbagai sisi, laki-laki ataupun perempuan memilki perbedaan, namun ada untuk saling melengkapi. Baik, mari kita kritisi dari segi biologis. Jelas perempuan dan laki-laki punya ciri fisik berbeda. Perempuan memiliki kelebihan: mudah sensitif yang berhubungan dengan hormon, bisa hamil, melahirkan, juga menyusui. Sedangkan laki-laki diberi kelebihan punya otot yang lebih kuat, lebih jarang menangis karena berhubungan dengan hormon tertoteron, menyimpan begitu banyak cairan sperma yang punya peran besar dalam hal reproduksi. Bagi saya, dua makhluk ini ada untuk saling melengkapi satu sama lain, bukan malah memecah belahkan dunia menjadi kubu pria dan wanita. Keduanya punya hak yang sama untuk hidup, punya kewajiban yang harus dijalankan, begitupun punya bakat yang bisa dikembangkan. Lantas kenapa dunia ini begitu terkotak-kotakkan? Kenapa warna pink hanya milik perempuan? Kenapa pria tidak boleh menangis? Kenapa lelaki dianggap aneh kalau bisa memasak? Kenapa perempuan dianggap nggak normal kalau jago otomotif?

 Kenapa?

                Kenapa?

                Dan, Kenapa?

Lets talk about culture and gender. Jenis kelamin itu cuma ada dua, laki-laki dan perempuan (kalau menganut paham di negara kita, beda cerita sama beberapa negara lain yak). Sedangkan masyarakat memiliki kontruksi pemikiran dalam hal jenis kelamin. Gender adalah pembedaan jenis kelamin berdasarkan cara berpikir masyarakat, yang didasarkan dengan sosial budaya itu sendiri. Pelajaran tentang gender ini gue dapetin ketika hadir di sosialisasi peran gender oleh Lembaga Pengkajian dan Permberdayaan Perempuan & Anak. Gue tergabung dalam jajaran volunteer sahabat LP3A, yang tugasnya begini ini menyebarkan ilmu, dan membantu kasus seputar HKN (HIV/AIDS, KEKERASAN, & NARKOBA), khususnya yang berkaitan dengan perempuan dan anak. Berhubung belum pernah nanganin kasus, gue bagi-bagi ilmu aja dah ya hehe. Back to topic, gender itu terbentuk dari sosial-budaya. Dalam kajian sosiologi, ada tuh istilah budaya patriarkhi (hal yang berkaitan dari garis keturunan ayah, termasuk kewenangan, dominasi peran yang biasanya berpusat pada ayah atau laki-lakii dan juga matriarkhi (kebalikannya, segala hal yang berkaitan dengan garis keturunan ibu, jadi kewenangan dan dominasi biasanya ada pada pihak ibu atau perempuan). Terus apa bedanya dengan maskulin dan feminim? Nah, jadi gender itu mengenal 2 sifat ( feminim dan maskulin), tapi ada juga yang mengenal sifat gender ketiga, yaitu androgini (perpaduan antara sifat feminim dan maskulin).



Sebenernya, sifat dari gender, dan perbedaan budaya itu gak akan jadi masalah kalau di masyarakat tidak terjadi ketimpangan pada salah satu pihak. As we know, masyarakat kadang mengkotak-kotak sesuatu berdasarkan konstruksi berpikirnya, kayak laki-laki itu kudu banting tulang, perempuan di dapur aja. Pada budaya yang menganut partiarkhi, di Indonesia rata-rata begini, segala kewenangan dan dominasi ada di tangan laki-laki, perempuan jadi second option/class. Sedangkan di daerah seperti Sumatra Barat, budaya yang dianut adalah matriarkhi, dimana kewenangan dan dominasi ada di tangan perempuan, laki-laki berkebalikannya. Semua ini sekali lagi adalah hasil budaya. Sifat feminim, maskulin, merupakan harapan yang disematkan agar seseorang mampu berprilaku seperti yang sosial budaya masyarakat inginkan. Pendapatku pribadi, gak semua yang diharapkan masyarakat itu salah, hanya saja beberapa hal perlu dikritisi lebih lanjut. Ada begitu banyak alasan mengapa masyarakat sampai memiliki harapan pada prilaku seseorang.

Hal yang ingin saya garis bawahi di tulisan ini adalah dalam setiap kehidupan sosial, diperlukan adanya relasi gender, maksudnya laki-laki dan perempuan itu melengkapi dan saling menambal kelemahan yang dimiliki masing-masing. Seharusnya nggak akan ada tuh pertikaian atau sindiran cewek VS cowo,  kalau setiap pihak bisa saling memahami, melengkapi, iya kan? Kelihatannya ini sepele aja, tapi pemunculan ide-ide cewek vs cowok itu bisa berdampak lebih jauh. Let’s see, sudah banyak pembatasan pekerjaan, pemisahan bakat dan minat diantara laki-laki dan perempuan.

Saya bukan pembela feminis, dsb, saya ingin mengajak kalian untuk berpikir lebih jauh dan melihat sisi positif dari laki-laki maupun perempuan. Banyak orang menjadi salah kaprah karena kurangnya informasi, usia 0-5 tahun merupakan golden age seorang manusia, pada saat itu semua informasi tentang dunia menjadi hal yang mudah ditancapkan di pemikiran anak. Tetapi saya cukup miris, dan tidak mampu berkutik, bahkan sekedar menegur. Ketika KKN, saya diberi kesempatan untuk membantu mengajar di TK, saat itu guru ingin memberikan edukasi tentang perbedaan laki-laki dan permpuan. Awalnya saya pikIr itu baik, agar anak tahu, bahwa secara fisik-biologis, laki-laki dan perempuan berbeda, tapi si guru ternyata terlampau jauh. Beliau mengajarkan, bahwa anak perempuan itu kudu main boneka, dan laki-laki mainnya bola atau mobil-mobilan, terus ditambahin kalau cowok gak boleh cengeng, glek  saya langsung hilang respect. Gimana ya, kayak salah kaprah gitu kan jadinya, padahal anak di usia golden age harusnya melakukan ekplorasi, main aja semua, biar dia mengenali dan mempelajari banyak hal, itu pembatasan yang didasarkan pada gender. Siapa tahu kalau dengan anak cewek main robot, dia kelak jadi ilmuwan, atau anak laki-laki ingin main boneka karena bisa menjadi media pembelajaran yang menarik, tuh kan, jadi terbatasi ruangnya. Kenapa Cuma laki-laki yang gak boleh cengeng? Emang hidup akan melunak bagi kaum perempuan gitu? Terus apa salahnya kalau laki-laki pas sedih nangis, lha kan kalau nangisin dosa-dosa masak gak boleh? Hayo loh….

Hal semacam inilah yang akhirnya memancing konflik gender, akibatnya salah satu pihak merasa dirugikan, dan pihak lainnya merasa diunggulkan, sehingga tumbuhlah pertentangan dan gerakan sosial: aliran feminisme misalnya. Padahal dalam berbagai aspek kehidupan, laki-laki dan perempuan saling membutuhkan untuk memberikan dukungan. Misalkan di dalam keluarga peran ayah dan ibu sama pentignya, dua-duanya punya tanggung jawab yang sama untuk mendidik dan membesarkan anak. Hal struktural apapun, butuh keduanya untuk melengkapi, bukan malah memusuhi. Saya kira laki-laki dan perempuan itu dibekali kelebihan masing-masing secara individual, sayang aja kalau gak berkembang hanya karna konflik gender. Keseimbangan itu bisa dicapai, ketika orang bisa fair memandang kemampuan dan kelebihan laki-laki maupun perempuan sebagai individu. Pendidikan contohnya, perempuan juga harus punya bekal, kelak dia akan jadi ibu dan harus menjadi guru pertama anak-anaknya. Ibu itu punya banyak peran, perlu perempuan mengerti ilmu kesehatan sedikit, kalau anaknya terjatuh berdarah harus ditangani, kalau ibunya gak punya ilmu, ayahnya pun gak paham, lha bisa infeksi anaknya. Seorang laki-laki juga kudu punya pengetahuan, masak misalnya, gak ngerti gimana cara bedain garam sama gula, lha ya pas istrinya sakit, mau minum kopi yang  dicampurin malah garam.Hihi. So, semuanya butuh belajar, punya ilmu, dan juga mengasah keterampilan.

Gender itu bukan masalah harus A,B,C,D,E, terus menimbulkan konflik laki-laki vs perempuan. Jenis kelamin bukan pula dibedakan karena warna kesukannya merah buda atau biru. Keduanya punya hak dan kewajiban, yang diperlukan hanyalah saling memahami kelemahan dan kelebihan, serta menghargai satu sama lain. Pendidikan itu hak semua manusia, bukankah di agama dijelaskan, kita belajar sejak dalam kandungan hingga menuju ke liang kubur, artinya baik laki-laki dan perempuan kudu punya bekal ilmu pengetahuan yang banyak. Harusnya gak ada klasifikasi jurusan teknik milik para lelaki dan cewek yang berwujud macho, sedangkan psikologi  atau tata busana itu jurusan perempuan dan laki-laki yang kemayu. Gak ada begitu! Lah kalau memang punya bakat disitu bisa dikembangkan ke positif, dan gak melebihi batas, apakah itu salah?

Saya dulu sempat tertarik main futsal, berhubung punya temen yang sama minatnya dan pengin belajar, ya saya minta aja teman cowok ngajarin futsal di lapangan. Awalnya aneh, tapi gak papa kan? Meskipun saya ternyata emang gak bakat. Sama halnya waktu saya ingin belajar bela diri, masuk karate, saya diomelin sama salah satu teman cowok, namanya juga belajar biar bisa melindungi diri, lalu apa salahnya? Begitu pun dengan kakak cowok saya, dia kalau masak lebih enak dari emak saya, padahal gak ada yang ngajarin, nyoba aja gitu, ya terus kenapa? Emangnya salah gitu?

Dalam beberapa hal, laki-laki dan perempuan punya bakat atau minat yang ingin dikembangan, pengin belajar berbagai hal. Setiap orang pun, punya kelemahan masing-masing, satunya baperan, satunya cekatan, kenapa sih gak saling melengkapi aja? Apa faedahnya memperdebatkan cewek vs cowok, padahal sudah tahu kelebihan dan kekurangannya. Buang energi, nguras hati, lebih asik kalau kita berdamai dan menyatukan janji (eh salah), menyatukan visi. Hehe. Kalau bertengkar mulu, membela salah satu pihak, kekerasan gak akan berhenti terjadi, semacam pelecehan, hingga kekerasan.

Udah lah ya, capek bertikai mulu, salam damai aja J

Peace, love, and gaul ….



Tertanda,



Rahmita Laily M.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KHAS BANYUWANGI

All About Keluarga 'Lontong Kupang'