Sebuah Potret dan Refleksi Tentang “Belajar dan Sekolah”


“Gila sekolahnya bagus banget, pastilah SPP per bulannya mahal!”

                Itu kalimat jujur yang langsung terlintas di kepala saat dapat kesempatan menjadi tester di salah satu sekolah SD swasta elite di Malang. Saya seumur hidup baru kali ini merasakan masuk ke sekolah yang ruang kelas, fasilitas, dan manajemennya luar biasa, kesannya emang saya agak “katrok dan ndeso”. Sepanjang waktu persiapan ngetes saya potret sana, komen sini, berdecak kagum tak berhenti pada isi sekolah. Sepanjang masa sekolah dari SD sampai kuliah,  dan nyambi praktikum plus kerja, saya lebih sering masuk ke sekolah-sekolah pinggiran-sekolah swasta yang letaknya ‘ndelesep di desa”, daripada masuk sekolah elite, kalaupun masuk ke sekolah favorit itu pun tarafnya sekolah negeri.               

Di tulisan ini seperti biasa saya ingin sharing pengalaman dan mengeluarkan uneg-uneg.

                Sudah hampir setengah tahun saya bergabung di salah biro konsultasi psikologi untuk posisi tester, seringkali saya bersama tim, ditugaskan ke berbagai kota untuk menjadi instruktur tes psikologi di sekolah tingkat SMA. Sejauh bekerja saya selalu dapat lokasi yang jauh berada di desa, dengan karakterisitik siswa yang berbeda-beda. Saat ke Lamongan dan Problinggo saya ngetes anak SMA kelas 1 yang baru lulus SMP, sekolahnya favorit, latar belakang siswanya pun tidak bermasalah, rata-rata anak kelas menengah ke atas dengan status siswa pilihan, jadi saat ada tes psikologi mereka sudah paham bahwa itu penting dan harus dikerjakan sungguh-sungguh, tidak butuh usaha lebih untuk mengkondisikan maupuan menjelaskan. Aman sentosa lah pokonya, nurut semua gitu. Tapi beda cerita pas saya ke daerah Malang Selatan, sekolahnya di bawah kaki gunung, tersembunyi lokasinya di desa, siswanya berasal dari kalangan menengah ke bawah, itu sekolah paling favorit di wilayah tersebut, gurunya rata-rata honorer, siswanya kalau mau sekolah harus naik motor antara 5-30 km, dan butuh usaha lebih untuk mengkondisikan serta menjelaskan pentingnya bersungguh-sungguh mengerjakan tes. Belum lagi orang tuanya yang pada kepo, intip-intip anaknya dari balik kaca sambil harap-harap cemas, seragam siswanya tidak lagi putih bersih, pas tes ada yang ngantuk-ngantukn kurang antusias. Fasilitas sekolahpun nggak secetar sekolah elite, di sekolah ini gurunya ditantang untuk telaten dan lebih sabar. Saya agak ngotot pas menjaga tes, beberapa siswa agak susah dikondisikan, butuh pendekatan ekstra, tapi semangat mereka kalau sudah selesai tes-luar biasa.

                Lain cerita saat dapat lokasi ke Sumenep, Madura, belum berangkat saja, saya sudah cemas, karena rekan senior pernah mendapat pengalaman buruk dari siswa. Sekolah yang cukup favorit di wilayahnya tapi menjangkaunya jauh sekali, agak pelosok dengan latar belakang siswa berasal dari keluarga nelayan dan petani. Itu pengalaman pertama saya menginjakkan diri di Madura, saya semangat 45, tapi agak miris sedikit, siswanya banyak yang datang telat bahkan ada yang nyaris belasan menit. Sudah gitu mereka tidak memahami pentingnya tes psikologi, jadi saya harus tekankan berkali-kali dulu biar mereka semangat ngerjain. Lalu saya pun menerangkan tata cara mengerjakan dengan bahasa Indonesia, ternyata mereka tidak paham sepenuhnya. Giliran saya kasih kesempatan bertanya? Pada tanya dengan bahasa Madura, mampus! saya kelabakan antara mencerna maksud pertanyaan dan bagaimana membuat mereka paham dengan bahasa yang simpel. Fasilitas sekolah apa adanya, siswanya ada yang gerah jadi lepas sepatu, lalu baju seragam banyak yang menguning, ada yang kalau ingusan dilap aja di seragam, pas saya kasih tissue anak itu senyum-senyum malu. Kalau lagi capek ngerjain dan kepanasan, mereka pada berisik. Saat saya keliling ngecekin pengerjaan, ada yang masih bingung ngerjain padahal waktu hampir habis, padahal di awal saya tekankan sampe mulut berbusa yang nggak paham silakan angkat tangan, tanya, atau minta saya datang ke tempat untuk dijelaskan individual. Nyaris habis energi untuk menjelaskan ke beberapa siswa. Belum lagi kalau ada yang gaduh, saya hampir tarik otot sambil senyum nahan emosi. Tapi di balik semua itu, saya akui mereka sangat tangguh dalam menerjang kerasnya hidup. Ada yang cuma tinggal dengan nenek, ayah ibu di beda kota bahkan pulau. Kalau sudah klop mereka seru kok. Kejadian yang hampir mirip juga saya alami saat ke Situbondo, sedikit kesulitan menjelaskan karena mereka lebih terbiasa pakai bahasa Madura.

                Ini baru pengalaman yang siswa SMA, saya dulu juga pernah dapat lokasi turun lapangan kuliah ke sekolah swasta SMP pinggiran dimana siswa di kelas pada banyak yang lepas sepatu karena gerah, lalu tertidur saat pelajaran, saat diwawancara banyak dari mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu dan harus bekerja sepulang sekolah hingga larut malam, salah satunya membantu ibu berjualan kopi dan nasi bungkus. Kemudian di SD negeri agak pelosok saya menemukan siswa yang agak memerlukan perhatian khusus, ada yang sangat diam karena jadi korban kekerasan di rumah dan bullying di sekolah, lalu ada yang minta perhatian, belum lagi yang nonton porno dan coba merokok. Belajar dari pengalaman di lapangan saya mencoba membuka pandangan, tidak selalu mereka yang nakal itu salah, bisa jadi ada pemicu dari masalah keluarga, salah lingkungan teman, dan harus kerja keras. Saya justru merasa senang bertemu siswa yang semacam ini, mereka kadang hanya butuh sosok yang mau mendengar dan menerima apa adanya, bagaimanapun mereka asset bangsa, seharusnya mendapat fasilitas pendidikan layak, pendidikan, bimbingan, juga perhatian. Saya tetap salut, setidaknya mereka tidak putus sekolah.

                Kalau dibandingkan, kadang mental mereka yang berada dalam keterpurukan maupun keterbatasan (Baik fisik maupun materi) lebih tangguh. Baru kemarin saya dengar cerita anak seorang asisten rumah tangga dia ranking 2 di sekolah SMP nya, tapi tiap pulang sekolah sampe jam 11-an malam harus kerja keras, bekerja bikin sandar jepit, berbagi waktu antara ibadah, mengaji, belajar, dan kerja. Saat dia dapat masalah nabrak orang karena naik motor (Memang belum usianya, tapi dengar dulu ceritanya), dia dengan tabah dan berani bertanggung jawab, dia meminta maaf pada korbannya lalu membawa si korban yang ingin protes bertemu keluarganya untuk menyelesaikan masalah baik-baik. Si anak sudah dituntut akan dibawa ke kantor polisi, untung ada pihak guru sekolah yang mau memediasi, dia pun tabah menghadapi cemoohan tetangganya. Ternyata si anak terpaksa bawa motor ke sekolah karena sang bapak sedang sakit jantung dan dalam pemulihan, si ibu nggak sanggup kasih ongkos naik angkutan umum karena pendapatan sehar-hari pas-pasan. Anak ini prestasi di sekolahnya gemilang luar biasa, ngajinya wow, puasa dan sholatnya amazing. Di tengah sulitnya hidup dia terus belajar, menyerap ilmu bagaikan spons. Kemandiriannya luar biasa. Memang tidak bisa digeneralisir, tapi beberapa orang dan siswa yang hidupnya berlebih dari segi materi, kadang lebih mudah ngeluh kalau dikasih tantangan. Tapi sekali lagi, tidak semuanya begitu, masih banyak juga yang luar biasa.

                Hal yang ingin saya soroti, sekarang ini banyak sekali orang yang tidak benar-benar belajar, padahal sudah bersekolah di tempat elite, hidup tercukupi, eh disuruh sekolah saja ogah-ogahan. Ngeluh terus. Saya suka mikir dan iri, melihat ada sekolah elite dengan segenap fasilitas oke dan guru-guru yang berdedikasi tinggi mencetak generasi muda menakjubkan, dibalik semua itu, ada biaya tinggi per bulan yang harus dibayar. “Sekolah larang Nduk , Le!” “sekolah mahal Nak”, banyak orang di luar mengeluh begitu, jangankan menyekolahkan ke tempat terbaik, bisa makan besok dan beli buku tulis aja syukur. Saya yakin sekali, setiap orang tua ingin anaknya mendapat sekolah dan pendidikan terbaik, tapi tidak semua bisa mewujudkanya, bahkan merelakan putus sekolah. Padahal setiap anak bangsa berhak mendapat pendidkan yang terbaik, sayangnya alasan klasik selalu muncul, apalagi kalau bukan urusan biaya. Makanya saya selalu salut dengan orang tua yang menomorsatukan pendidikan, baik itu pendidikan formal sekolah, agama, maupun karakter seperti sopan santun. Saya angkat empat jempol untuk seluruh keluarga yang lebih rela nahan keinginan ini dan itu, biar anaknya bisa cari ilmu setinggi mungkin.

                Gitu masih ada aja yang nggak bersykur dengan keadaan. Ingatlah tidak semua orang bisa sekolah dan belajar di tempat terbaik dengan segenap fasilitas impian. Tapi yang dapat kesempatan itu malah tidak memanfaatkannya. Realitanya banyak orang hanya bisa sekolah sampai SMP/SMA, eh tapi di bangku kuliah kok banyak mahasiswa demen bolos, hobi titip absen dan hura-hura, padahal orang tuanya sampe nangis darah membiayai. Kalau lihat ke atas mulu, capek leher. Kalau kita lihat ke bawah maka sadarlah untuk bersyukur. Emang hidup mapan itu membahagiakan, tapi menjerumuskan dan melenakan juga. Kayaknya perlu banget anak sejak kecil diajak main ke rumah orang-orang nggak mampu, biar bisa belajar bersyukur, yang punya asisten rumah tangga, ajak aja anaknya sering main ke rumah si Mbak, belajar bareng disana kek biar gak sombong pas udah gede. Mana generasi sekarang sukanya instan, yang berorientasi hasil, lupa kalau semua ada proses dan kerja kerasnya.

                “Sok tau kamu! Kali aja bolosnya karena kepepet!”

                “Oh ya? Lebih banyak mana orang yang bolos karena kepepet daripada yang bolos karena males?”

                “Menggurui banget tulisanmu! Udah kayak emak-emak aja!”

                “Saya hanya mengeluarkan uneg-uneg! Emak-emak? Emang iya, suatu saya akan jadi emak-emak jadi tulisan ini juga refleksi dan evaluasi diri untuk masa depan!”

                Udahlah yang masih betah silakan lanjut baca, yang nggak, skip aja yak…

                Sejujurnya saya suka iri, di akhir perkuliahan ini, saya pengin banget bisa lanjutin kuliah magister profesi biar bisa jadi psikolog. Banyak teman yang keluarganya siap menyekolahkan sekolah lanjutan, tapi malah yang bersangkutan gak mau karena alasan males mikir dan belajar lagi. Okelah kalau alasannya karena memang ingin kerja, cari pengalaman baru, menjalani passion dan hal yang bisa diterima lainnya, lha ini alasannya karena males aja kuliah lagi, mikir lagi dsb. Tahukah kalian, saya sangat memimpikan bisa dapat kesempatan itu! Saya mules kalau hitung biaya kuliah profesi yang SPP nya fantastis, beasiswa pun jarang ada yang mau memberikan biaya untuk program sekolah profesi. Tapi bukan berarti saya nyerah usaha dan doa. Bagi siapapun yang bisa kuliah lanjut setinggi-tingginya bersyukurlah, dan saya berharap Anda memanfaatkan kesempatan belajar sebaik mungkin. Bukan salah niat, sekolah cari gelar biar keren dan naik status sosial, tapi sekolah untuk cari ilmu bermanfaat.

                Hal lain yang bikin saya sedih adalah cap sekolah favorit, emang sih saya nggak munafik, saat sekolah pasti kita sering bangga kalau bisa sekolah di tempat terbaik. Tapi makin ke sini saya memahami, bahwa seharusnya tidak perlu label begitu, karena setiap orang berhak dapat kesempatan belajar dan dikasih cap baik. Orang tua zaman sekarang juga banyak yang lupa dengan tugasnya sebagai pendidik alias madrasah pertama, apa-apa diserahkan ke sekolah, guru les, guru ngaji dan orang lain. Kalau si anak bikin masalah, yang pertama disalahkan adalah gurunya, pembantunya, orang-orang di sekelilingnya, alamak! Padahal pembelajaran utama anak adanya di rumah, jangan coba melepas tanggung jawab dengan menyalahkan pihak lain dong!

 Gengsi juga harus disoroti, banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya di tempat elite untuk status semata, tanpa tanya ke si anak “Kamu mau sekolah di sana? Kenapa?” Kalau jemput anak pada pamer barang dan kendaraan, lupa tanya kabar ke anak “gimana sekolahnya hari ini? Belajar apa saja?”. Terus giliran si anak bawa bekal makanan, isinya fast food semua, padahal kalau update status emak bapaknya makan di restoran ternama. Pak, Buk, gizi itu penting, buat beli barang mewah sanggup, giliran makan, si anak dicekokin sama fast food mulu, kan sayur, buah, susu, tempe, tahu, ikan laut itu bergizi kok murah meriah lagi, kasih dong makanan sehat serin-sering. Kalau dapat hasil tes psikologi dan IQ, mereka ingin sekali ku briefing. Hallo! skor IQ jenuis bukan berarti gak bawa masalah, karena si anak jenius tergolong dalam anak berkebutuhan khusus yang butuh perawatan beda dan lebih. Begitupun anak rata-rata bukan berarti buruk, selama dikasih pengayaan dan stimulus, mereka bisa jadi ngalahin yang jenius. Bagi yang anaknya IQ anaknya di bawah rata-rata, jangan kecil hati, ada banyak teknik mengajari anak untuk bisa tetap menyerap pelajaran.

Setiap anak punya keleihan dan kekuranganya masing-masing itu semacam satu paket komplit, fokuslah mencari dan kembangkan kelebihannya. Raportan adalah ajang bergengsi tertinggi para wali murid. Anak yang rankingnya bawah dianggap bodoh total, padahal itu salah besar, ingat setiap anak adalah istimewa. Terus yang masuk sepuluh besar ortunya pada saingan sama ortu lainnya, menekan anaknya untuk bisa ranking ke bagian atas. HHHH…pak, buk, semakin menekan si anak dia bisa mengalami stress akademik loh. Les sana-sini, sampe tubuhnya si anak remuk, sekali-kali ditanya kek, “Kamu keberatan nggak kalau les? Capek? Seneng nggak?”. Kecerdasan manusia itu macam-macam, kalau dapat nilai eksak buruk, gak masalah, liat prestasi di mata pelajaran atau keahlian lainnya, pasti dia dapat nilai terbaik.

                “Eh penulis yang masih bau kencur menuju tua, kamu belum merasakan jadi orang tua! Makanya ngomongnya enak aja!”

                Gini lho…saya memang belum meraskaan itu, tapi one day kalau Tuhan mempercayakan, saya juga akan jadi orang tua. Saya belajar psikologi dan bolak-balik ketemu siswa di lapangan, saya nggak mau aja orang masih berpikir sama tanpa perbaikan, daripada mubadzir ilmu dan pengalamannya, ya saya bagi aja. Semoga bermanfaat. Sekali lagi saya menghargai kerja keras setiap orang tua untuk bekerja, mendidik, dan menyekolahkan anak-anak, tapi semoga juga tidak lepas tanggung jawab dan menjadikan anak selayaknya boneka yang bisa disetir dan di dandani sekehendaknya. Anak juga seorang manusia, yang punya pikiran, perasaan, keinginan, dan pilihan, sekaligus kelebihan dan kekurangan. Jangan cuma bisa mendadani anak jadi lucu buat di upload ke sosmed tapi lupa mendidik dan bertanggung jawab. Memang tanggung jawab dan beban orang tua sangat kompleks, tapi jsutru karena itulah kita dipercaya pegang amanah. Pendidikan tidak untuk meraih ketenaran, gengsi, gelar atau bahkan nilai, tapi menyerap dan membagikan kembali ilmu sehingga bermafaat. Belajar tidak melulu tentang sekolah formal, tapi juga banyak hal. Setiap orang butuh ilmu untuk menguasai dunia, dan manusia akan terus belajar sejak dalam kandungan hingga ke liang lahat. Semoga kita semua bisa memberikan pendiikan tebaik bagi sekeliling. Amin. Tulisannya emang sok menggurui, semoga berfaedah. Trims

 
With Heart,
Rahmita Laily M.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KHAS BANYUWANGI

All About Keluarga 'Lontong Kupang'