Tentang Menikah….
Sampai di usia dua puluh satu-an
serangan undangan nikah makin gencar, ya dari senior yang baru lulus lah, teman
se genk, dan rekan seperjuangan di
masa sekolah. Lagi tren kali ya nikah muda? Itu pertanyaan yang terlintas di
otak. Berhubung rasa penasaran semakin besar, saya mengamati pola-pola teman
yang sudah menikah. Rata-rata mereka adalah dari golongan perempuan, menikah
dengan yang lebih tua beberapa tahun, punya sikap yang “keibuan” banget, ada
juga yang nikah karena udah pacaran lama, ataupun nikah karena sistem ta’aruf.
Fenomena menikah di usia yang menurut
saya cukup muda ini sempat membuat saya merasa aneh dengan diri sendiri, “Aku
masih normal kan ya? Apa mereka yang nikahnya kecepetan?” karena jujur saja belum ada pikiran sedikit pun untuk
menikah dalam waktu dekat. Kayaknya ga ada angan-angan nikah cepet, nggak
mikirin sama sekali. Terus beberapa orang mulai tanya, “kapan kamu nyusul?”
saya cuma bisa haha hihi sama garuk-garuk kepala. Ealah ditanya nikah, lha
kepikiran nikah muda aja nggak.
Lalu beberapa waktu yang lalu
sahabat zaman sekolah tiba-tiba mengontak, tanya-tanya soal pernikahan,
alasannya karena saya anak psikologi. Tuh kan, modus-modus konsultasi colongan
berjalan wkwkwk. Ya saya jawab secara umum berdasarkan ilmu yang pernah saya
dapatkan, satu hal yang selalu saya tanyakan ke orang-orang yang konsul soal
nikah, “Apa alasan terbesar kamu menikah?” “Benar kamu sudah siap menjalani
kehidupan mendatang setelah akad dan resepsi?” Karena di luar keilmuan, hal itu
sangatlah krusial, hidup berumah tangga tujuannya pasti ingin langgeng sampai maut
memisahkan.
Pertanyaan terbesarnya, apa kita
sudah sesiap itu untuk mengarungi kehidupan berkeluarga? Arti kata siap menurut
saya adalah meliputi kesiapan mental, finansial, spiritual.
Butuh kestabilan emosi, manajemen
stres, manajemen waktu, manajemen konflik untuk mengarungi bahtera rumah
tangga, apalagi kalau punya anak ya harus siap untuk mendidik, merawat, serta mengasuh.
Sekarang aja habis bangun pagi, sholat, seringnya tidur lagi bukan nyiapin
sarapan apalagi langsung aktif nyuci baju dan bersih-bersih (hiks, anak kosan
banget, males gak ketulungan, tobat Mit!) Finansial bukan urusan matre atau
tidak matre, tapi kita perlu untuk bisa mengatur berapa pendapatan dan jumlah
pengeluaran agar dapur terus mengepul, hidup nyaman, tagihan beres, dan anak
bisa sekolah. Spritual ya jelas perlu, kita harus sadar bahwa menikah adalah
bagian dari ibadah. Sebenarnya bukan hanya itu, kita juga butuh kesiapan fisik
dan biologis yang baik, karena ini berkaitan dengan sistem reproduksi, termasuk
sistem imun saat sibuk untuk menjalani kehidupan sehari-hari.
Menikah itu ibarat kerja tim,
suami adalah kapten yang wajib bekerja untuk menafkahi, dan mereka telah
bekerja keras mengeluarkan enegri besar untuk mencari uang. Wakil kapten adalah
istri bertugas mengurusi hal domestik seperti pengasuhan, pendidikan, mengurus
dari makanan hingga pakaian, beberapa juga ada yang bekerja. Tapi karena
namanya kerja tim, maka butuh kerja sama serta pembagian tugas yang sudah
dikomunikasikan sejak awal, baik suami dan istri sebaiknya saling membantu
untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari bersama dan saling support satu sama lain.
Kalau menulis hal yang seperti
ini, bukan berarti juga saya anti dengan pernikahan. One day di saat yang siap dan tepat saya juga ingin menikah. Tapi
tidak dalam waktu dekat, karena priotitas saya adalah ingin memperbaiki diri
dengan cara belajar, barangkali bisa belajar dari lingkungan kerja, belajar hal
baru, membekali diri dengan beragam cara termasuk mungkin sekolah lagi kalau
dikasih kesempatan. Menikah bagi saya adalah hal penting, sakral, dan butuh
periapan. Ada banyak pertimbangan yang menyebabkan saya belum siap menikah
dalam waktu dekat.
Terus maunya nikah umur berapa?
Sekedar planning di kepala, saya rasa usia antara 25-27 tahun adalah
puncak kematangan pribadi seseorang. Mungkin di usia segitu saya sudah siap
lahir dan batin untuk menjalani kehidupan berumah tangga, dan mampu bertanggung
jawab atas salah satu keputusan terbesar di hidup. Kesiapan orang untuk menikah
kembali lagi ke diri mereka sendiri, karena tiap orang punya pertimbangan dan
tingkat kesiapan yang berbeda. Jadi usia 25-27 tahun itu hanya alasan pribadi
saya, bukan berdasarkan teori apapun. Patokan usia bukan harga mati, kita tidak
tahu perjalanan kehidupan ke depan, bisa jadi juga saya nikah lebih cepat dari
usia prediksi. Saya tidak tahu kesiapan diri ini mungkin juga akan berjalan
lebih cepat dari apa yang saya pikirikan. Kita tidak penah tahu bukan
Menikah itu bukan urusan
cepet-cepetan atau mana yang paling telat nikah, karena mengatakan siap menikah
merupakan suatu keputusan besar dalam hidup. Dalam islam menikah adalah anjuran
karena bisa menyempurnakan separuh agama, saya seratus persen percaya ini. Cuma
bukan berarti dengan hanya alasan menghindari zina dan menyempurnakan separuh
agama lantas semua orang dengan cepat mengambil keputusan menikah, padahal dia
belum siap secara biologis, psikologis dan finansial. Kalau secara biologis
belum siap dan matang, akan memiliki risiko kesehatan di masa mendatang.
Psikologis belum siap bisa menimbulkan cek-cok, tidak mendapatkan ketenangan
lahir dan batin, tidak bahagia, bahkan menimbulkan KDRT, penelantaran, atau hal
mengerikan lainnya. Finansial nggak ready
apalagi, rezeki memang bisa dicari, pertanyaan siap gak untuk para kaum
lelaki menafkahi anak dan istri? Menyekolahkan anak? Masa iya mau keluarga dikasih
makan suket teki ? Bukan masalah finasial harus berpengahasilan tinggi dan
menyediakan kehidupan yang mewah, tapi urusan duit ini juga penting
dipertimbangkan karena hidup akan terus berjalan. Bagi para istri kalau nggak
bisa irit atur keuangan habis terima uang bulanan langsung amblas, ya mau gimana?
Makanya bagi saya menikah muda itu baik jika memang sudah siap. Siap untuk
mempertanggung jawabkan keputusan menikah, karena kan nikah nggak cuma sehari
saat akad dan resepsi tapi akan berjalan bertahun-tahun.
Sekarang mari kita bertanya pada
diri sendiri, seberapa siap kamu untuk menikah?
Menikah itu sekali lagi butuh
persiapan, banyak kasus anak-anak bermasalah karena berawal dari keluarga, yang
kurang dapat kasih sayang, ketenangan batin, pendidikan, dan lain sebagainya.
Keluarga memiliki peran yang penting untuk menjadi benteng dalam menghadapi
tantangan dan ancaman kehidupan, istilah bekennya ketahanan keluarga. Urusan
menikah bukan hanya akad dan resepsi, bagi saya agak sia-sia mengeluarkan
sekian banyak uang hanya untuk jadi ratu dan raja sehari duduk di kuade lalu
menyalami tamu yang datang dan tidak dikenal, padahal perjalan kehidupan
selanjutnya harus diperhitungkan juga.
Kalau Cuma ingin menikah, saya rasa semua orang normal di usia dewasa
awal pasti ingin lah menikah atau paling tidak menjalin hubungan hangat, tapi
kalau ditanya siap nggak jalani hidup habis nikah? Nah itu jawabannya pasti
akan berbeda-beda. Ingin saja tidak cukup.
Pulang dari seminar pra nikah
saya mendapat pengetahuan baru tentang kesiapan menjalani rumah tangga ditinjau
dari sudut pandang agama islam, psikologi, kesehatan, dan ekonomi. Jadi begini
menikah dalam islam adalah anjuran dan cara menyempurnakan separuh agama serta
ibadah. Tujuan menikah dari segi islam adalah untuk memenuhi kebutuhan
naluriah, menbentengi akhlak yang mulia, menegakkan rumah tangga yang islami,
meningkatkan ibadah pada Allah, serta mencetak generasi sholehah (yang nantinya
ketika kita mati, doa dari anak yang sholeh menjadi salah satu dari 3 hal yang
tidak akan terputus). Islam sangat menyarankan untuk melakukan perbaikan diri
dan memilih pasangan yang baik, tapi tidak ada dalam islam istilah pacaran
untuk alasan memilih pasangan. Well
kalau dikatikan dengan aspek psikologi dan kesehatan pun pacaran bukan solusi
yang oke untuk mengenal pasangan, karena banyak peneltian menunjukkan dalam
pacaran sering terjadi perilaku seksual (Kissing,
Necking, Petting, and Intercourse) akibatnya banyak kasus KTD (Kehamilan
Tidak Diinginkan), Aborsi, KDP (Kekerasan Dalam Pacaran), dan penyebaran IMS
(Infeksi Menular Seksual). Tapi kan kalau ga pacaran kita kayak pilih
kucing di karung? Kalau pacarannya sehat mana mungkin terjadi hal yang
disebutkan tadi?
Hmm kembali ke pilihan
masing-masing, tapi dari keempat orang penyaji materi di seminar tadi
menyatakan pacaran bukan saran yang baik memilih pasangan. Bukankah justru
pacaran banyak fakingnya? Jujuran
aja. Tapi mengenal calon sebelum nikah juga perlu, karena kita perlu membahas
kesepakatan-kesepakan saat menikah contohnya pembagian peran kerja, pengasuhan,
finanasial. Belum lagi kita perlu kenal karakter calon pasangan, seenggaknya
tahu gimana orangnya secara umum, kenal latar belakangnya, keluarga,
lingkungannya. Pasangan perlu juga membuat VISI MISI kedepan, habis nikah
maunya kayak gimana. Nah cara memilih dan mengenal pasangan dikembalikan ke
individu masing-masing, cara terbaiknya gimana, mungkin ta’aruf, pacaran, PDKT,
HTS, langsung interview atau dengana
cara-cara lainnya, itu pilihan. Banyak jalan menuju Roma wkwkw.
Menikah adalah bagian dari tugas
perkembangan seorang manusia dan manfaat secara psikologisnya sangat baik,
seperti meningkatkan kebahagiaan, memperpanjang usia, menekan prevalensi schizopherinia maupun bunuh diri, serta
meningkatkan kesehatan psikis. Cuma nih
ya nikah itu butuh kematangan, dan ukuran matang tidaknya seseorang tidak
berpatokan pada usia, jadi tua itu adalah sesuatu yang pasti, tapi menjadi
matang dan terus berkembang adalah pilihan.
Kata pemateri: Pernikahan BUKAN hanya 1+1=2, TAPI (1-1/2)+(1-1/2) =1,
WHY?
Karena ketika menikah kita harus
belajar mengurangi ego masing-masing, sehingga hindari perilaku dan kata-kata “Suka-suka
gue”, “Aku emang kayak gini, kalo ga suka ya udah”, nah hal semacam ini harus
dikurangi karena menikah itu berbagi, menghargai, dan saling menghormati, bukan
lagi hidup berpusat pada diri sendiri. Menikah itu bukan cuma nikah sama
pasangan aja, tapi juga “menikahi” keluarganya, jadi seharusnya gak ada istilah
“itu keluargamu dan ini keluargaku”, karena pasangan adalah soal kamu dan aku
yang menjadi kita. Eaaa…..wkwkwkwkw
Hal yang perlu diperhatikan
setelah menikah adalah cara berkomunikasi dan berempati dalam hubungan, kalau
ada yang ga clear harus asertif.
Asertif adalah bagaimana cara kita mengkomunikasikan isi pikiran dan hati pada
orang lain dengan cara yang baik tanpa menyakiti hatinya, tapi maksud dan kejujuran kita tetap tersampaikan. Sebaiknya
pasangan yang menikah sudah bisa move on dari
masa lalu baik itu dengan urusan para mantan maupun trauma masa lalu, nah poin
ini sepele tapi berat untuk menyelesaikannya kalau ga punya keinginan yang
kuat.
Nikah butuh modal duit ga? Jelas
dong, masa pra nikah aja butuh duit untuk biaya KUA, akad, resepsi, mas kawin
dan lainnya. Setelah nikah pun hidup berjalan, kita perlu bikin kesepakatan pra
nikah dengan pasangan terkait habis nikah tinggal dimana, ngatur keuangan kayak
apa, diskusi diperlukan banget. Laki-laki kan wajib untuk menafkahi istri, dan
begitupun istri dituntut bisa mengelola uang dengan bijak. Kemandiran setelah
nikah juga perlu, ya mandiri secara finansial, juga mandiri untuk menyelesaikan
konflik yang terjadi (Jadi nggak lagi dikit-dikit ngancam “Pulangkan saja aku
pada ibuku… atau ayahku”), So nikah harus siap ya?
Menurut mu gimana?
Kesiapan dari segi kesehatan pun
perlu diperhatikan, jadi perempuan dan laki-laki setidaknya baru matang
reproduksinya ketika usia 20 tahun, dibawah usia itu, melakukan hubungan suami
istri menimbulkan risiko besar bagi pasangan, salah satunya memperbesar
kemungkinan kelainan pada janin. Selain itu sangat disarankan kita terbuka
untuk keadaan kesehatan masing-masing, misalkan kalau pernah “gonta-ganti
pasangan” ada baiknya di tes HIV dulu
biar ada langkah preventif penyembuhan maupun melahirkan bayi dengan HIV/AIDS,
sedangkan kalau ada penyakit khusus lainnya bisa dilakukan pengobatan.
Disarankan juga untuk melakukan general
check up untuk mengetahui kondisi kesehatan masing-masing, jika ada
penyakit yang berisiko lainnya misalkan kencing manis, ISPA, asma, dll bisa
dikomunikasikan terlebih dahulu, agar pas udah udah menikah ga bingung dan tahu
penangannnya kalau kambuh atau menyesuaikan pola makan dan rutinitas
sehari-harinya. Sehingga keterbukaan, kepercayaan, dan komunikasi yang baik
dibutuhkan bagi calon pasangan.
Kok habis baca ini rasanya nikah
itu kayak ribet gitu ya?
Ini bukan soal ribet atau nggak
atau bahkan terlalu idealis, nggak ada manusia yang sempurna dan tiap orang
lahir serta tumbuh dengan perbedaannya masing-masing. Nyari yg sempurna mah
nggak akan dapet, yang penting adalah gimana cara kita terbuka dengan kelebihan
dan kelemahan masing-masing calon pasangan lalu kita tahu gimana cara
bernegosiasi dan berkomprominya, biar pas menikah nggak ada rasa nyesel dan
salah pilih. Satu hal lagi yang saya pahami dari seminar, bahwa tidak mungkin
ada pernikahan yang sempurna, karena yang seperti itu cuma ada di negeri
dongeng. Ngerti kenapa princess dongeng pada nikah seolah bahagia banget
hidupnya? Itu karena ceritanya gak pernah berlanjut sampai mereka setelah
menikah dan menjalani kehidupan.
“Tiap manusia akan melewati stage
of life dengan caranya sendiri-sendiri, gak usah bingung, nikamati aja masa
setiap masanya. Sekarang masih jomblo? Selow, nikmati aja masa “me time” mu,
kelak kalau udah nikah bakal kangen masa sendiri kan? Ya udah jalanin aja
dengan cara terbaik” – Mita, 2018
Udah jangan baper-baper guys,
selow aja lah. Kalau jodoh gak akan kemana, kalau ga jodoh? Ya berarti dianya
kemana-mana wkwkw. RAHMITA LAILY M.
Komentar
Posting Komentar