Di-antar-a?




Di-antar-a?
Oleh : Rahmita Laily M.

Apalah arti segi jika punya tiga sisi?

Apalah arti menunda kesedihan, jika ia hanya akan menjadi bom waktu?

                “Kenapa harus menyerah kalau kita bisa?”

                Perempuan dengan rambut sebahu itu menatap tajam dengan mata memerah. Sejenak langit terasa akan runtuh, sehancur luka yang bersarang diantara dua orang manusia. Tidak, kali ini bukan hanya dua tapi tiga. Perempuan itu terus berdiri, wajahnya penuh sisa air mata, bibirnya yang kering semakin pucat.

                “Seharusnya yang terluka itu aku! Kenapa perempuan selalu merasa yang dipojokkan, lalu bagaimana dengan perasaan ini!” bentak seorang pria yang wajahnya kusut.

                “Betapa kita saling mengenaskan, hatimu sama berantakkannya dengan penampilanmu. Jangan lupakan bahwa kau pernah lebih terluka karena papa. Aku tidak ingin jadi duri dan melukai orang lain, jangan membuat diri kita menjadi pengecut. Aku tidak lebih dari selilit yang menyempil dan pemain cadangan, aku tidak ingin memperpanjang luka!”

                Pria yang rambutnya berantakkan itu mundur selangkah, matanya digenangi air. “ Siapa yang lebih pengecut, kau, aku atau takdir? Aku tidak mungkin bersamanya, kita punya Tuhan yang beda, sedangkan aku dan kamu sama.”

                Daun-daun pohon santan berguguran diantara dua manusia yang bersitegang. Perempuan yang tanganya gemetar menyeka kasar air mata. “Dengar, kita sama dengan menunggu bom waktu meledak. Buat apa menunda sedih dan rasa kehilangan kalau sebaik apapun kita berusaha, ia akan terjadi? Terlalu lama aku menunggu keberanian dan keputusan, sekarang rasa yang salah semakin menggerogoti, susah payah aku membuka celah, tapi sekeras apapun aku menjaga, aku tetap melukai orang lain.”

                Usai bicara perempuan itu mundur dua langkah, di matanya tersimpan sejuta luka dan keresahan. Ia membalikkan badan, berlari pergi tanpa kata perpisahan.

                “Brengsek! Pengecut itu aku!” umpat sang pria sambil meninju batang pohon santan yang dedaunannya berguguran.

***

                Usiaku baru sepuluh tahun saat lelaki yang ku sebut papa pergi. Setidaknya aku bisa menerima kalau kepergiannya karena ketidakcocokkan ataupun di panggil Tuhan. Tapi lelaki itu pergi meninggalkan kehampaan dan rasa sepi, hanya untuk menemani perempuan lain yang selalu ku sebut monster. Berawal dari absennya papa di ruang makan setiap malam dengan alasan mendapat proyek di luar kota atau sibuk lembur kerja.

“Ibu apa Satria nakal dan cerewet saat makan? sampai papa tidak mau lagi makan malam bersama?”

Ibu selalu berkaca-kaca dan tersenyum menjawab pertanyaan yang ku lontarkan setiap malam, “Papa hanya sedang berjuang untuk kita, kamu harus bersabar dan berdoa. Papa mencari uang, dan mungkin enggan pulang karena harus melawan monster jahat.”

Satria kecil hanya mengangguk, mempercayai sang papa yang mungkin benar-benar sedang berjuang menghadapi monster. Tapi aku terus menunggunya pulang selama berbulan-bulan, bahkan di malam takbiran saat anak laki-laki dan ayahnya sibuk memukul bedhug sambil menggelar karpet untuk sholat Id, papa tetap tidak hadir. Aku berusaha tersenyum menunggu sabar hingga hari esok, saat lebaran papa pasti datang. Sudah ku siapkan penyambutan terbaik, menggambarkan papa sebuah bangunan rumah impian, walau gambar papa yang seorang arsitek pasti jauh lebih keren.

Sepulang sholat Id aku duduk menunggu papa di depan teras, mengenggam gulungan kertas gambar. Ibu terus menangis ketika memotongkan ketupat di piring. Tiap ku tanya kenapa ibu sedih? Ibu hanya bilang ia terlalu bahagia menunggu kedatangan papa yang pulang. Aku tersenyum, mengambil sekotak kue keju buatan ibu yang menjadi favorit papa menuju ke depan teras. Sabar ku tahan air liur, aku tidak mau makan kue keju kalau papa belum datang. Aku terus menunggunya hingga siang menjelang.

“Nak” panggilnya, “Satria yang hebat anak ibu, ayo masuk dan makan kuenya. Kamu sudah empat jam duduk di sana”

Ku gelengkan kepala, “Papa sebentar lagi akan datang kan Bu? Satria gak akan masuk dan makan kue tanpa papa”

Ibu menghela nafas sambil memeluk erat, “Nak, jangan menunggu, papa tidak pulang. Kita masih harus bersabar, papa masih berperang menghadapi monster.”

Ku dorong ibu untuk melepas pelukkan, “Siapa sebenarnya monster itu bu! Aku sudah tidak sabar menunggu papa, ibu tidak membohongiku kan?”

Wajah ibu sedih tapi berusaha menahan tangis, “Satria kamu harus bersabar, suatu saat kamu akan tahu siapa monster itu, kamu gak boleh menangis nanti ibu jadi lebih sedih. Kita harus bersabar, bersyukur dan bahagia ya Nak!”

Persis sesaat setelah ibu bicara, telepon rumah berdering dan aku berlari mengangkat. Aku yakin itu pasti telepon dari papa. Ku angkat perlahan tanpa bicara apapun, benar saja, aku bisa mendengar suara papa, tapi sungguh aku menyesal.

“Nia aku tidak pulang. Hari ini anak Cecil dari suaminya yang meninggal mengalami kecelakan, dia patah tulang dan lebih membutuhkanku. Sampaikan saja pada Satria, bahwa aku sedang kerja lembur. Sudah ya, operasinya akan berjalan lima menit lagi, Cecil menungguku.”

Ku banting gagang telepon dan menangis sejadi-jadinya. Jadi monster itu bernama Cecil dan aku bersumpah sejak hari itu dan seterusnya aku tidak akan memaafkan papa. Ibu masih berdiri dengan wajah pucat dan bahu yang bergetar, ku rebut kotak kue keju yang beliau pegang, membuangnya kasar ke tempat sampah. Lalu aku berlari mengambil gambar yang kujadikan hadiah, merobeknya kasar hingga rasa marahku terluapkan. Aku bersumpah tidak akan menjadi arsitek dan makan kue keju, papa sudah meninggalkanku bahkan di hari lebaran.

***

Lamunanku terhenti saat ibu datang dengan membawa secangkir teh. Enam belas tahun berlalu sejak kejadian itu, dan kini aku ingin menceritakannya pada ibu. Perempuan yang berjuang keras melanjutkan hidup setelah papa lebih memilih Cecil. Papa resmi menikahi perempuan yang berbeda agama itu secara diam-diam di negeri kincir angin, setelah pernikahan resmi digelar enam belas tahun yang lalu, papa meninggalkanku tanpa biaya sedikit pun. Aku tumbuh dengan luka mendalam akibat perselingkuhan.

Satu-satunya harta yang ku punya hanya ibu, tubuhnya semakin hari kian kurus. Sering ku dengar di tengah malam beliau terisak dalam sujudnya. Ketika aku beranjak dewasa, beliau mengirimku merantau untuk sekolah. Dalam kesepiannya, ibu hanya ditemani oleh Cemeng dan Loreng, kucing kampung yang ditemukan di tong sampah. Hidup kami berubah jadi serba pas-pasan, ibu berjualan gorengan, menerima jahitan, berjualan baju, menerima pesanan kue dan masakan, apapun dikerjakan agar hidup terus berjalan. Ibu tidak peduli hal lain, kecuali memberiku pendidikan yang terbaik. Setiap hari mengajariku beragam ilmu, keterampilan hidup, dan agama. Dalam tangis sesaknya, ibu selalu menyuruhku bersabar.

Seperti sore ini, ibu memberiku sebuah pesan, “Nak, kamu tahu bagaimana rasanya terluka hidup diantara cinta segitiga. Sebagai lelaki tegaslah, kalau kamu tidak ingin mempertahankan yang beda maka pilihlah yang lebih tepat. Tidak ada yang mau terluka.”

Ku cerna semua perkataan ibu sambil menyesap teh. Seketika muncul bayangan seorang perempuan dengan rambut sebahu yang menangis dalam senyumnya. Aku salah membiarkan perasaan tumbuh pada perempuan lain, sedangkan aku merajut hubungan selama 5 tahun dengan seorang perempuan yang berbeda agama.

“Aku hanya tidak ingin menjadikan alasan perbedaan untuk mengakhiri hubungan. Aku ingin memilih Diaz bu, perempuan yang sama dengan kita. Kadang aku tidak bisa berpikir dengan akal sehat untuk membenarkan perselingkuhan dalam hati ini. Aku pun selalu merasa bersalah, terlebih aku mengerti bagaimana terlukanya karena dikhianati. Jadi aku harus bagaimana bu? Sebagai pria aku merasa pengecut, dan terlalu takut mengambil resiko.”

“Tidak ada yang salah dengan jatuh cinta Satria, tapi untuk apa pula kamu menyemai benih yang bisa melukai orang lain? Dan untuk apa kamu mempertahankan sesuatu yang kamu tahu akhirnya tidak akan mungkin berujung? Hidup itu pilihan, pilih saja selama kamu punya pilihan. Termasuk kehilangan keduanya itu juga pilihan kalau kamu mau.”

Alisku bertaut, ku dekap ibu sambil menangis tergugu, persis sama seperti saat ibu dulu memelukku setelah aku membuang kue keju dan merobek kertas gambar.

“Bu, apakah ayah bahagia hidup dengan sang monster?”

“Mungkin” jawabnya lembut sambil menepuk bahuku.

“Bu, apakah ibu terluka karena diselingkuhi?”

“Sangat”

Dan aku bertanya kembali, “Bu, apakah monster itu pernah merasa terpojokkan, resah, dan merasa bersalah?”

“Tentu Nak, tapi sekalipun ibu memilih mengalah dan kau terluka, ibu yakin itulah pilihan terbaik.”

Ku lepas pelukkan ibu, menatap matanya  dalam, sambil mencium telapak tangannya yang kini keriput. Aku mengerti apa yang Diaz rasakan saat ia memilih pergi, ia sudah mendengar semua kisah masa laluku, dan dihantui perasaan bersalah. Sedangkan aku tak juga memberi kejelasan arah untuk hubunganku dengan Lili.

***

Rasanya ada ngilu di ulu hati, Lili menemui dengan sorot matanya yang membunuh. Entah bagaimana dia bisa tahu, bahunya bergetar hebat. Ku dekati dirinya yang terus berjalan mundur sambil terisak.

“Kita sudah bertahun bersama, remaja hingga dewasa. Selama ini kita tidak pernah mempermasalahkan perbedaan urusan Tuhan, dan kita berjanji untuk tidak pernah mempermasalahkannya. Tapi ada yang lebih melukaiku dari semua itu, apa kamu tahu?”

Lili menahan pergerakkanku yang terus mendekat. Tangisnya semakin meledak saat seorang pria separuh baya turun dari mobil, mendorong seorang perempuan seumuran yang duduk di kursi roda dengan syal terlilit di leher.

“Wanita itu adalah ibuku dan lelaki itu adalah papamu!”

Aku tidak pernah percaya. Seluruh tubuhku meremang, lelaki tua itu menatapku sendu. Lili merebut kursi roda milik ibunya dari tangan papa. Sambil menangis ia memasukkan sang ibu ke dalam mobil. Aku berdiri menyaksikkan semua tanpa bicara. Mobil melaju pergi dan kini papa berjalan mendekat dengan sedikit terbata-bata.

“S-a-tri…a” panggilnya lirih.

Lelaki di hadapanku terasa asing, rambutnya putih, matanya sayu, jalannya pun tak segagah dulu. Sungguh aku ingin menghindar, tapi tak bisa melakukan apapun, ku peluk tubuhnya sambil memukuli bahunya pelan. Aroma tubuhnya menguar, masih sama seperti dulu, hangat dan nyaman dekapnya. Aku tak kuasa, seluruh air mataku terjatuh dalam rasa benci yang ingin ku tamparkan.

Sepuluh menit berlalu, aku hanyut dalam dekapan soosk ayah. Seorang perempuan berambut sebahu melambaikan tangan di seberang jalan. Ia turun dari taksi, memakai dress warna pink yang sama persis di hari dia pergi setelah berdebat denganku. Senyumnya meneduhkan, aku merindukan seluruh kata-katanya. Dalam kerapuhan, aku ingin mendengarnya marah dan bicara sakrasme untuk menyadarkan. Ku lambaikan tanganku, dan ia tetap tersenyum.

Pelukan papa terlepas perlahan, ia menyeka pipiku yang basah. “Nak, papa pulang. Apa kamu baik-baik saja?”

Aku mengangguk mantap tanpa melepas lambaian tangan untuk Diaz. Papa mengguncang bahuku kencang, dan aku tetap tersenyum menatap senyum perempuan di seberang jalan itu.

“Apa kau baik-baik saja Satria?”

“Iya Pa, itu kenalkan ada Diaz temanku, dia melambaikan tangannya untuk kita”

Guncangan bahuku terasa semakin kencang, papa memelukku sekali lagi. “Kamu harus kuat, Diaz sudah pergi tidak akan kembali.”

Segera dengan kasar ku lepas pelukkan itu, “Papa tidak kenal Diaz, jangan halangi aku menemukan kebahagiaan”

Papa menggigit bibir, kemudian ibu datang mengusap bahuku pelan, “Satria, sehari setelah kita minum teh bersama, ibu mendapat telepon dari pihak rumah sakit, mengabarkan sebuah berita penting, apa kamu lupa?”

“Memangnya ada berita apa? Ibu tahu aku sungguh pelupa, bahkan sudah sejak kecil dulu”

Pelan ibu meraih rahangku, kata-katanya lembut tapi bagai petir yang paling mengerikan, dan aku benci mendengarnya, “Diaz meninggal, kecelakaan saat hendak mengirim kue keju untukmu dan ibu. Kata ibunya, Diaz ingin menemuimu untuk menyakinkanmu. Tapi ternyata Tuhan lebih menyayanginya.”

Sekejap aku baru merasa terluka, kemudian bahagia kembali, dan kini Tuhan merenggutnya kembali. Langitku benar-benar runtuh, tidak ada yang ku dapatkan kecuali Papa yang kembali pulang. Seluruh lelahku untuk memperjuangkannya percuma, Diaz pergi dalam luka hatinya yang tersudut pada cinta tiga sisi, antara aku dan Lili.

Hari berikutnya tak lagi sama, terasa hampa. Walaupun kepergian, membuat Diaz tak perlu lagi merasa resah hanya karena aku yang tak ingin memilih keputusan. Tapi aku tak ingin larut dalam rasa penyesalan. Cinta itu segitiga Bermuda, dan Diaz terjebak menjadi mati dalam kuburan asa yang menguap. Kepergianmu menyisakan luka terdalam sekaligus menyadarkanku bahwa untuk apa kita menunda kesedihan dan kehilangan? Kalau pada ujungnya semua akan terjadi. Kau benar, bom waktu telah meledakkan dirinya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KHAS BANYUWANGI

All About Keluarga 'Lontong Kupang'