Fase Hidup Berikutnya...
“It always seems impossible until
it's done.” NELSON MANDELA
Kira-kira begitulah kisah hidup saya selama 2018, saya melewati masa
skripsi yang penuh peluh dan airmata. Saya pikir,masa skripsian yang berlinang
drama adalah salah satu masa terparah dalam hidup, nyatanya tidak. Kehidupan
pasca wisuda justru membuat saya semakin paham, bahwa mungkin benar kenapa
orang suka bilang “welcome to the jungle
and the real life”. Saya rasa saya sudah masuk masa a quarter life crisis, dimana hal yang saat ini paling bikin saya
sumpek adalah soal karir dan pilihan juga persiapan untuk fase kehidupan di
beberapa tahun ke depan.
Welcome fase dewasa awal!
Persis seperti teori di kelas yang pernah dibicarakan, bahwa pada setiap
fase perkembangan manusia akan mengalami beberapa krisis, ya mudahnya kita akan
mengalami fase adaptasi lagi. Semacam mulai dari nol kembali, begitulah. Kini
saya memulai dunia kerja dengan dari nol lagi, belajar untuk benar-benar
mandiri ternyata ga mudah, saya merasakan betul bahwa keluar dari zona nyaman
memang berat. Mandiri secara finansial adalah tantangan yang sengaja saya beri
pada diri sendiri, walau pada kenyataannya gaji saya bekerja suka nge pas
banget bahkan kurang untuk biaya hidup dan bayar kosan.
Sebagian orang mungkin paham bahwa saya tinggal satu kota dengan
keluarga, namun saya tetap memilih kos dengan beberapa alasan dan pertimbangan.
Sejauh ini fase hidup pasca wisuda benar-benar membuat saya muter otak,
mengatur segala jadwal kerja dan biaya hidup ternyata gak semudah balikkin tangan.
Mungkin bagi sebagian orang ini hal yang mudah dan sepele, tapi bagi saya cukup
membuat stress.
Pekerjaan saya tidak se wow rekan lainnya atau se huwaw ekspetasi orang,
sempat juga saya stress, merasa “kenapa
saya stuck di pekerjaan ini? Harusnya
saya bisa berkarir lebih baik, mungkin bisa kerja disana, disitu, dll” ya
saya ngeluh lagi, ngeluh terus, ngeluh aja begitu selama berapa bulan. Tapi
saya diingatkan dengan rekan saya yang masih berjuang lulus pun yang belum juga
dapat pekerjaan, lantas saya sadar, harusnya saya patut bersyukur, berbangga
dan mengapresiasi diri sendiri. Meski gaji sangu ngepas, jauh di bawah UMR,
saya setidaknya bisa beli kebutuhan sehari-hari pake hasil jerih payah sendiri,
sesekali orang tua memang kasih kalau udah liat duit saya nipis dan angkanya
mulai ga realistis untuk bertahan hidup. Tapi uang yang saya dapatkan saya
tolak kalau jumlahnya terlalu berlebihan, bukan karena sombong atau ga butuh,
tapi saya memang harus belajar untuk disiplin. Apakah mudah? Gak lah, saya juga
sering nangis di kamar kos kalau duit nipis, bingung kalau ga makan gimana,
maunya hemat apalah daya maag saya
suka kambuh. Ruwet kan ya?
Back to topic, saya sekarang lagi mengalami a quarter life crisis banget. Saya kadang suka down kalau ada beberapa orang tanya, “kok kamu masih disini aja sih? Ga lanjut s2? Ga kerja dimana gitu? Kan
kamu pinter, ipk bagus, dulu anak beasiswa pula…masak gak lolos tes kerja?
Masak masih disini?”
What the hell…kamu kira saya se maha dewa itu? Saya suka kesel ingin
ngomelin mereka yang nyinyir dan kepo tanpa tau alasan dll.
- Pertama, saya
selama kuliah ga ngurusin IPK, oke ga munafik, dulu saya sempat ambisius dpt
ipk cumlaude tujuannya ya biar dpt beasiswa dan biar saya bisa kasih kebanggaan
lain ke orang tua semisal saya dikasih kesempatan untuk jadi lulusan terbaik.
Tapi seiring berjalannya waktu, saya sadar seharusnya ga gitu, jadi saya
putuskan untuk belajar keras dan mendalami ilmu selama kuliah karena saya sudah
jatuh cinta sepenuhnya dengan dunia psikologi, that’s the reason kenapa saya
mencoba selalu jadi mahasiswa yang aktif. Tujuannya tak lain tak bukan agar
menambah ilmu dan wawasan, biar kelak kalau ketemu klien or case saya bisa membantu dengan benar.
- Kedua, saya pribadi masih
ingin berusaha mendapat pekerjaan yang saya passion
disitu atau yang impikan, kalau saya sudah coba tes tapi gak lolos saya ga
begitu menyesal, karena selalu saya coba percaya “SEMUA PASTI ADA HIKMAHNYA,
MUNGKIN TEMPAT ITU BUKAN YANG TERBAIK” dan saya belajar dari kegagalan tes
kerja kemarin2, mungkin saya kurang persiapan dan tubuh saya sempat drop karena kurang fit waktu tes. Tapi di balik semua itu, saya sadar ada pelajaran
dan hikmah yang saya bisa pertimbangkan di tes kerja berikutnya, mungkin saya
harus lebih selektif milih lowongan karena kalau saya ngawur, nanti saya
keterima saya ga bisa tanggung jawab di situ, kan berabe.
Dunia kerja ternyata emang keras, sekalipun pekerjaan saya hanya asisten
dosen atau asisten lab, saya juga kerasa dapat pressure bgt. Saya sempat ga terbiasa, sehingga saya merasa “everyday is pressure”, hampir tiap hari
kerja, pergi pagi pulang malam, weekend
pun masih menyelesaikan tanggungan atau tugas kerja, Ga sekalipun bisa bebas
tanpa bukan aplikasi chat atau email di handphone. Lelah banget. Sering saya
nangis pas pulang kerja, menyesali kenapa saya ga bisa kerja efektif dan
professional, atau saya nangis karena teramat lelah dari fisik dan psikis.
Saya pun sempat bekerja lebih berat dr rekan sejawat karena saya
menggantikan rekan yang resign,
sehingga beban kerja saya jadi double,
bekerja 2 job tapi gaji per bulannya
dapat 1 job. Walau di akhir kontrak
saya dpt rejeki ceperan melimpah dari
double job yang saya kerjakan dengan nangis-nangis drama itu. Ya pada
akhirnya saya tersenyum dan menangis bahagia ketika dpt reward double job
selama 4 bulan. Di pekerjaan ini, saya
pernah 2x nangis parah banget, sampe ga nafsu makan, feeling guilty and hopeless, dan membuat saya sempat ngilang dari
medsos. Saya pernah kena marah dosen, kena tegur dengan segala kata-kata yang
bikin saya nangis sesek hingga ga tidur nyenyak. Down banget rasanya, tapi sekitar sebulan pasca peristiwa itu saya
sadar, dengan cara ini saya bisa belajar dan berkembang menjadi pribadi yang
lebih baik di dunia kerja.
Sehingga berbulan setelah masa jungkir balik itu saya putuskan untuk
tetap melanjutkan kontrak kerja, ya untuk terjebak lagi di tempat yang sama.
Awalnya saya merasa stuck, semacam
kejebak ga punya pilihan karena di tempat lain saya belum keterima kerja. Saya
akuin, effort saya melamar kerja
masih kurang alias di bawah standar di banding rekan saya seangkatan. Akhirnya
saya memilih untuk berpikir realistis dan sehat, bahwa dengan mengambil konrak
kerja ini, Tuhan ingin saya berkembang dan belajar lagi, kayak remedial dan dpt training sebelum masuk dunia kerja yag sebenarnya. Setidaknya saya
sadar, ada beberapa rekan yang masih berjuang skripsi dan butuh bantuan saya,
sekedar untuk nge support ataupun
membantu mereka dlm menyelesaikan penelitian “They call me as dospem ketiga -,-“ terus ya dengan saya lanjut
kontrak, artinya saya masih ada kesempatan belajar, dan menyelaikan target list
pribadi seperti belajar ulang alat tes, dan menyelesaikan editing tulisan yang bertahun tertunda. Sambil saya memprospek
untuk melamar kerja di tempat yang saya impikan. Setengah hati saya masih
menginginkan cita2 berikutnya tercapai, yaitu kuliah s2 profesi, tapi mungkin
tidak sekarang, saya masih perlu kumpulin info beasiswa dan lain-lain.
Ya
kira-kira begitulah curahan hati saya ini, sebagaian isi tulisan saya sadari
masih mengandung indikasi defense
mechanism semacam denial atas
beberapa kejadian yang belum dan sudah terjadi.
Udah begitu saja ya, sekian.
Komentar
Posting Komentar