Lari Saja!!!



*)
Hari itu aku memilih untuk berlari pagi, di tengah proses berlari aku memaksakkan diri untuk berlari secara konstan dengan berupaya mengendalikan pernafasan. Sudah lama tidak berlari. Pagi itu aku terbangun dengan badan yang terasa pegal, ngilu jika di tekan pada beberapa bagian. Ku pikir ini mungkin efek terlalu lama tidak berolaraga dan menggerakkan fisik.

Saat berlari, aku membuat target jarak lintasan, memang tidak jauh untuk ukuran orang kebanyakan, tapi untuk ukuran seorang aku, yang lama tidak berlari, jarak lumayan jauh. Setidaknya aku mengukur kemampuan, sampai mana aku mampu membuat batas.

Tulisan Windy Ariestanty di tumblr tentang lari lah yang menggerakkkanku pagi itu. Lepas subuh, sekitar jam lima pagi, aku menggerakkan kaki, berlari dengan sepatu kesayangan warna abu-abu. Hari itu perasaanku sedikit kacau, ya, sedang dalam keadaan tidak seratus persen baik-baik saja.

Ku baca tulisan kak W  (sapaan kak Windy), bahwa dengan berlari dia bisa berpikir jernih, berlari membuat manusia merasakan pergerakan nafas, katanya itu mirip seperti konsep meditasi. Bergerak dengan berlari bisa membuat manusia mengendalikkan ritme diri. Mungkin berlari bisa jadi opsi untuk membuang rasa kesal, hmm atau setidaknya dengan bergerak dan menghirup udara pagi yang bersih, aku bisa merasa kenyamanan.

Ketika langkah kaki bergerak mengayun, aku berlari. Merasakan bagaimana irama degup jantungku yang beritme cepat, kadang juga merasakan sedikit sesak saat kesulitan mengatur nafas. Hawa dingin merambat di wajah dan telapak tangan, sejuk, aku menyukai perasaan itu. Aku terus berlari, merasakan dengan sadar bagaimana pergerakkanku, perlahan setiap langkah menjadi begitu menyenangkan. Aku mengamati pemandangan sekitar, orang-orang yang pagi itu sibuk menggelar dagangan, ibu-ibu yang berbelanja, orang-orang yang melintas di jalan kemudian bertegur sapa satu sama lain. Mengamati hiruk pikuk pagi adalah hal yang menyenangkan. Jalanan cukup sepi dan hari belum sepenuhnya terang.

Udara yang dingin membuatku fokus pada diri sendiri. Waktu yang tepat untuk memulai percakapan dengan diri sendiri, meluapkan rasa kesal juga sisa amarah, pun melepaskan pertanyaan-pertanyaan yang menghantui ketika menjelang tidur. Aku mulai bisa berpikir jernih, Itu menyenangkan!

Lalu semakin lama langkahku mulai jauh, nafasku mulai tersengal, lelah terasa di sekujur kaki. Aku mengumpat dalam hati, ‘sial aku terlalu lama tidak berlari!’ Aku meyakinkan diri untuk tetap berlari, setidaknya hingga sampai di target yang dibuat.

Aku nyaris melonjak senang, target ‘finish-ku’ kira-kira sudah seratus meter di depan mata. Sayangnya aku semakin kesulitan mengatur nafas, masih terus ku paksakan diri berlari. Persis beberapa langkah saat target sudah di depan sana, kakiku serasa ingin berhenti, tidak kuat, iya aku mau menyerah saja, tidak sanggup lagi!

Hatiku menolaknya, “Paksa dirimu! Paksa! Itu sudah di depan mata!” sekali lagi aku memaksa keras tetap berlari agar menuju target yang ku buat sendiri.

Mataku mulai berkunang-kunang, nyeri di kaki semakin menggila!
Ya, aku sampai di titik itu dengan kepala yang sedikit terasa berputar. Agar jantungku tetap stabil, maka aku butuh berjalan, setidaknya nggak langsung berhenti tanpa gerak atau malah selonjoran diam. Aku melangkah, kakiku cenat cenut. Dalam hati aku mengutuk lagi, “Sial, betapa lemah aku, berlari segini saja sudah payah! Malas sekali olahraga!”

Di titik ketika aku berjalan, tepatnya saat setelah bersusah payah sampai di lintasan target, aku sadar, bahwa manusia ternyata adalah makhluk yang sering membatasi diri. Aku sadar bahwa manusia begitu mudah bilang menyerah atau berhenti, tanpa terlebih dulu “mem- push” diri sendiri, melewati batasan yang menghalangi, menembus batasan yang diciptakan sendiri.

Push the limit!

Kenapa kita harus berada di zona atau usaha yang aman? hanya karena kita tidak ingin bekerja keras sampai bilang “aku sudah tidak bisa, sudah mentok, all out!”

Menyerah sebelum garis finish. Menyerah saat target sudah jelas tinggal sejengkal di depan mata!

Batasan yang berlebihan adalah hal yang akan membatasi diri untuk berkembang. Aku sedang tidak menjelaskan batasan agama, jadi tolong bisa lebih terbuka bahwa batasan yang dimaksud maknanya bisa luas.

Batasan untuk impian dengan dalihtidak ada akses, tidak bisa, tidak mungkin, tidak punya uang,

pertanyannya batasan itu ada untuk berdiri diam disana atau coba mau coba dijebol saja?
Bukankah tugas manusia adalah berupaya keras dan berdoa. baru berpasrah saat semua daya upaya dijalankan?

 Jangan membuat batasan dengan dalih “ini takdir” padahal usaha all out pun belum!

Reminder untuk diri sendiri.
RLM, Agustus 2019

*) Foto: di ambil di Coban Rondo - Taken by me

Komentar

  1. bahaha mit, aku sering lo baca blogmu wkwk tapi kugapernah komen. oke kukomen ya nambah trafficmu :D :p ....oh jadi ini toh lari yg kemaren km cerita wkwk,, sip lah,

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah senangnya...terimakasih mbak ema sudah mau baca, aku nanti ganti mampir ke blog mb yakk. hehe jangan bosen bacanya hehe

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KHAS BANYUWANGI

All About Keluarga 'Lontong Kupang'