Setahun Berlalu, Memangnya Kenapa?
Sebuah Perjalanan 2 hari pasca lulus sidang! 8.07.18, Pantai Parang Dowo, Malang |
Berkontemplasi selama dua belas bulan adalah sebuah rangkaian
perjalanan yang panjang untukku. Mengenang dan meluapkan apa yang selama ini
tertahan di kepala dengan tulisan, barangkali bisa membuaku menjadi kembali “waras”
ketika menghadapi dunia.
Ya, aku selalu percaya bahwa perjalanan hidup
seseorang tak pernah bisa disamakan, tidak pernah bisa dibandingkan.
Berbulan-bulan pasca menyandang status sarjana, lulus dari jurusan yang begitu
membuatku jatuh cinta, membawaku pada banyak cerita.
Permasalahan yang paling membuat muak adalah soal pencarian
pekerjaan, bagiku di titik inilah aku mengenali diri, memahami apa hati kecil
nurani yang inginkan, mencoba berdamai dengan apa yang selalu menuntut,
menekan.
Seakan hidup hanya seputar “ kamu kerja dimana?” atau “kok
masih disini aja?”, “memangnya cukup buat hidup?”
Sampai aku bertanya pada diri sendiri “Apakah bekerja hanya
memang soal urusan uang? Apakah aku tidak memiliki kehendak bebas untuk
bertanggung jawab dengan pilihan yang diinginkan? Apakah harus menuruti semua
ekspetasi orang lain, jika yang dijalani kelak akan menyiksa nurani? Apakah
hidup yang dijalani orang lain, sebahagia apa yang mereka tampakkan di sosial
media?”
And I’m sick of!!!
That’s my life? I’m 23, so what?
Sebelum lulus aku sudah sempat berpikir mau kemana berjalan
untuk fase berikutnya. Hal yang ku tau dan mau, aku masih ingin menulis menjadi
penulis secara totalitas, belajar soal kehidupan, dan menyelami lebih dalam
tentang dunia psikologi, mendirikan sebuah gerakan sosial yang menjadi ladangku
berkontribusi. Tapi saat itu hingga sekarang, aku merasa, segala yang ku
pikirkan seperti kurang perencanaan dan tekad bulat. Hingga pada akhirnya waktu
terus berjalan tanpa menungguku, menguap hari-hariku dalam tangisan dan keluhan
tanpa mengerti harus berjalan darimana.
Sampai pada akhrinya Tuhan tahu apa yang hati kecilku mau,
aku bekerja lebih tepatnya “ditawari bekerja” tepat 3 hari pasca wisuda. Aku
tanpa pikir panjang menerimanya, bagiku lebih baik bergerak, mengerjakan
apapun, tidak terlalu perduli gaji, yang penting otakku terus terpakai tidak
mati hanya karena diam tanpa melakukan apa-apa.
Pada saat aku diterima, aku kembali memutuksan hal besar,
yang kata sebagian temanku “Kau nekat! Gaji segitu emang cukup?”, dan aku tidak
menyerah begitu saja atas keputusanku. Aku memutuksan membiayai kebutuhan
hidupku sendiri, membayar kos sendiri, dan menggunakan sisa gaji untuk makan
atau kebutuhan sehari-hari.
Keputusan besar yang sepertinya aku pikir agak bodoh,
kenyataanya gajiku selalu pas (pas-pasan).
Sehingga kadang untuk sekadar membeli sabun atau makan, aku harus memutar otak,
tapi aku senang menjalani semuanya. Badanku kurus, aku tidak masalah, karena
aku puas menantang diriku sendiri. Aku bangga dengan lantang bilang “setidaknya
aku berupaya tidak minta uang lagi pada mama, walau dalam keadaan darurat aku
masih membutuhkan dukungan finansial!”
Maka konsekuensi yang harus ku terima berikutnya adalah tidak
punya tabungan, ya iyalah, duit gajiku hanya habis untuk bayar kos dan biaya
hidup sehari-hari. Kadang aku menyesal, kadang mengeluh, bahkan pernah
menangis, bagaimana aku tidak bisa menabung? Ya tapi tidak apa-apa, bagiku ada
banyak pelajaran dan teman baru yang ku dapatkan, menurutku itu semua lebih
dari nilai gaji yang diterima. Kelak aku percaya, dengan ilmu yang aku dapatkan
akan banyak manfaat dan cerita yang bisa ku bagi, banyak teman mungkin bisa
membuka kesempatan dan sudut pandang baru tentang hidup.
Tapi ini juga menjadi masalah, aku benar-benar bisa merasakan
bahwa begitu banyak orang yang merecoki fase belajarku dengan memberikan
tekanan-tekanan dengan beragam bentuk.
Keluargaku ada yang menganggap “ya nanti kalau kamu sudah
kerja, kamu bisa nabung dll”
Ku jawab “Lha, memangnya aku selama ini bukan bekerja? Aku
dapat gaji!”
“Ya hmmm bekerja, belajar bekerja lebih tepatnya…”
Baiklah, dari situ aku sadar, bahwa apa yang aku lakukan
kadang di mata orang lain bukanlah dianggap hal penting. Belum lagi kalau
sedang ngobrol santai dengan sahabat bangku sekolah, mereka misalkan bahas soal
uang dan gaji, aku mendadak kehilangan kepercayaan diri, merasa aku hanya
orang-orang yang berbeda kelas, ya itu kenyataan, pikiranku mengatakan: inilah
intimidasi. Ya tapi aku bangga dengan apa yang ku lakukan, lalu kenapa aku
harus down?
Pandangan lain, orang sering mengira pasca lulus aku sudah
kemana-mana, bekerja di perusahaan besar atau melanglang buana dan hidup di
kalangan yang penuh prestige.
Kenyataannya, aku masih disini saja, bekerja dengan hal yang sama, gaji pun
tidak berubah. Lalu kau mau apa? Kasih makan aku?
Love, Blue Sky, and White Clouds! |
Haha, dulu aku nyesek kalau dibilang begini, sekarang aku
bilang “Ini hidupku, serah lu aja lah, bodo amat!” tapi jelas lah itu hanya
berani ku ucapkan pada diri sendiri. Setidaknya aku punya pembelaan yang
membuatku kembali berharga.
Seiring berjalannya waktu, aku belajar dan membuka diri pada
banyak hal. Barangkali aku hanya perlu bersungguh atas apa yang ku mau dan
impikan, konsisten dan membuka diri untuk terus berkembang dan belajar. Sempat
terlintas di benak, kalau aku mati, kelak aku bisa nitipin apa?
Kemudian
di tengah perjanan setahun pasca wisuda, aku merasakan hal yang dianggap orang
lain sebagai hal yang menyenangkan. Ya, aku beberapa kali mendapat telfon atau
pesan betapa tersiksanya temanku bekerja di perusahan besar. Aku bisa mengerti,
tekanannya pasti tinggi.
Bukan aku tidak pernah menangis dan mengeluh seperti mereka,
aku yang bekerja di ranah ini pun pernah down,
dan kurasa benar kata mama “kerja apapun
pasti punya tekanan, jadi gak masalah itu proses belajarmu”, walau aku tahu
mama selalu berharap aku bisa bekerja di tempat, yang menurut beliau lebih
pasti dan menjanjikkan, tapi sayangnya aku tak pernah berkeinginan yang sama.
Mari bertumbuh!!! |
Disini aku merasa mampu meraih kebebasanku sendiri, hal yang
ketika dari kecil sampai 18 tahun hidup belum ku dapat. Aku bisa membeli buku
yang ku mau dari menyisihkan uang sendiri, aku bisa ngopi dan ketemu beragam
teman, aku bisa belajar yang aku inginkan, dan itu membahagiakan. Aku bisa
berkarya tanpa lagi merasakan ketakutan, jadi bagiku itulah hidup yang ku
syukuri. Tinggal di kota yang merupakan kota impian, dan ya aku bahagia
menghirup setiap udara di lokasi tinggalku sekarang.
Sebagian orang mungkin tau kisah masa laluku, baik kehidupan
cinta ataupun sisi lainnya, aku telah berdamai dengan semua, walau di sela waktu,
kadang aku masih merasa “andai bisa memperbaiki dan mengulangnya”, tapi ku stop
khayalan itu, sebab, toh kita hanya perlu memikirkan apa yang perlu.
Kita hidup hari ini. Apa yang dilakukan hari ini akan
berdampak untuk esok dan seterusnya.
Aku hanya tidak ingin orang mengasihani hanya karena kisah
masa laluku. Aku ingin orang melihatku dengan sisi yang baru. Aku juga tidak
ingin orang menekanku dengan beragam pertanyaan soal pekerjaan. Sebab aku
belajar banyak dari apa yang ku jalani. Aku tidak ingin orang menaruh ekspetasi
padahal hal itu bertentangan nuraniku.
Biarlah, aku tidak terlalu memusingkannya, aku hanya ingin
berkarya dan menggunakan hidup yang dimiliki dengan versi terbaikku. Sebab
untuk berekspetasi agar orang memahami kita, itu adalah hal yang akan sia-sia!
Ya sudah apalagi, Buktikan saja bukan?
RLM, 14.0819 7:06 PM
Komentar
Posting Komentar