Mengurangi Sampah dengan Zero Waste: Kisah Segitiga antara, Aku, Kamu, dan Sampah!!!
Permasalahan sampah di dunia
seperti tidak pernah menemukan ujungnya, akan terus bergulir, jika tidak ada
regulasi yang menekan, tidak ada kesadaran pada setiap individu, dan kerjasama juga
komitmen beragam pihak. Tetapi bukan berarti kita hanya
perlu diam saja, tanpa berusaha, bukan?
“Kalau bukan dengan menumbuhkan
kesadaran pada setiap individu tentang banyaknya sampah, lalu siapa yang akan
mengatasi permasalahan sampah?” -RLM
Pada akhir bulan Juli 2019, saya datang ke acara literasi Patjar Merah di kota Malang. Salah satu sesi pembicara yang saya ikuti adalah sesi Mbak Siska Nirmala dengan tema Zero Waste Adventure (beliau adalah salah satu penggiat gaya hidup zero waste di Indonesia).
Saya datang tanpa tahu apa itu Zero Waste, datang dengan kepala kosong,
and I have no idea about this session.
Datang dengan sedkit terlambat pasca membeli sebotol minuman siap saji yang
pembelinya bilang, “Maaf kami tidak menyediakan sedotan plastik”, lalu dengan
kikuk saya tetap beli (padahal mikir, masak langsung teguk aja gitu?)
Kemudian rekan saya dengan sigap
menawarkan sedotan stainless, saya
takjub. Pertama kalinya dalam hidup, saya melihat ada orang yang seniat itu membawa
botol minum, kantung kain buat belanja, serta sedotan yang ramah lingkungan
kemana pun dia pergi.
Berikutnya saya kebingungan, mau menyedot minuman pake beginian? Lah caranya gimana? Akhirnya saya pakai juga tuh sedotan dengan perasaan aneh. Sedotannya keras di mulut berasa lagi nelan stainless, dalam hati mikir “temanku ramah lingkungan banget, sedangkan aku, pake sedotan plastik kok seenak jidat!”
Berikutnya saya kebingungan, mau menyedot minuman pake beginian? Lah caranya gimana? Akhirnya saya pakai juga tuh sedotan dengan perasaan aneh. Sedotannya keras di mulut berasa lagi nelan stainless, dalam hati mikir “temanku ramah lingkungan banget, sedangkan aku, pake sedotan plastik kok seenak jidat!”
Kemudian saat datang ke sesi mbak
Siska, saya baru paham bahwa dunia ini sedang gawat darurat sampah.
Zero waste adalah sebuah cara hidup atau gerakan (saya bahasakan gitu ya) yang mengajak manusia untuk mengurangi seminimal mungkin produksi sampah, serta mengajak orang untuk memanfaatkan kembali sumber daya yang ada, tujuannya ya itu agar sampah tidak lagi menggunung dan dibuang seenak hati.
Zero waste adalah sebuah cara hidup atau gerakan (saya bahasakan gitu ya) yang mengajak manusia untuk mengurangi seminimal mungkin produksi sampah, serta mengajak orang untuk memanfaatkan kembali sumber daya yang ada, tujuannya ya itu agar sampah tidak lagi menggunung dan dibuang seenak hati.
Ada 5 hal yang harus diperhatikan dalam menghadapi sampah maupun 'calon sampah', caranya dengan melakukan:
Refuse (menolak), Reduce (mengurangi), Reuse (menggunakan kembali), Recycle (mendaur ulang), dan Rot (membusukkan).
foto diambil dari: ecowarriorprincess.net |
Pulang dari sesi tersebut, saya mikir keras, sadar bahwa selama ini
saya masih tidak peduli dengan sampah. Pesan mbak Siska hari itu saya ingat
betul, zero
waste itu butuh konsistensi, jangan
berorientasi pada hasil, tapi proses, untuk menerapkan zero waste bisa dilakukan dengan hal kecil secara konsisten, kemudian bertahap ke
hal-hal besar berikutnya.
Misalnya, kamu baru akan memulai kebiasaan mengurangi sampah dengan membawa botol minum sendiri kemana-mana, maka lakukan itu secara konsisten. Jika sudah, kamu bisa naik ke tahap berikutnya dalam mengurangi sampah, karena konsistensi itu butuh tekad. Apapun terkait sampah yang bisa diminimalisir, maka lakukanlah.
Misalnya, kamu baru akan memulai kebiasaan mengurangi sampah dengan membawa botol minum sendiri kemana-mana, maka lakukan itu secara konsisten. Jika sudah, kamu bisa naik ke tahap berikutnya dalam mengurangi sampah, karena konsistensi itu butuh tekad. Apapun terkait sampah yang bisa diminimalisir, maka lakukanlah.
Tidak usah malu ajak orang di sosial media atau dimana-mana untuk mengurangi sampah, jangan kecil hati ketika kamu belum konsisten lalu disindir orang “katanya zero waste?! kok masih plastikkan?”
Tidak apa-apa karena semua dalah proses, satu langkah kita akan
berkontribusi pada perubahan.
Saya pikir benar juga pernyataan mbak Siska, hal lain yang saya soroti adalah gerakan ini mestinya disebarluaskan pada anak muda, karena generasi yang paling sering buang sampah adalah kami.
Saya pikir benar juga pernyataan mbak Siska, hal lain yang saya soroti adalah gerakan ini mestinya disebarluaskan pada anak muda, karena generasi yang paling sering buang sampah adalah kami.
Foto diambil dari:portofolio.newschool.edu
Maka dari itu saya bertekad menuliskan pesan ini di blog, bukan berarti saya sudah konsisten mengurangi sampah, tapi kalau saya diam saja, lalu akan semakin sedikit orang yang sadar tentang sampah, lalu pertanyaan saya “Apa faedahnya saya datang ke sesi itu, sementara orang-orang seperti mbak siska berkoar-koar mengajak peduli, tapi saya untuk menyebarluaskan dan mengajak orang lain saja tidak mau?!”
“Sekalipun kamu untuk sementara waktu hanya bisa menulis atau koar-koar tentang mengurangi sampah, setidaknya kamu bukan termasuk orang yang hanya diam dan tidak peduli, bukan?”-RLM
Foto diambil dari: lexiscleankitchen.com
Mbak siska juga bilang bahwa kalau mau flashback, leluhur kita sudah menerapkan zero waste pada beberapa aspek kehidupan, seperti cuci baju pakai tangan, mengeringkan baju dengan sinar matahari, ke mana-mana bawa bekal makanan dari rantang, membungkus makanan dan sayuran dengan daun pisang, daun jati, atau besek (yang terbuat dari bambu), ke pasar bawa tas belanjaan anyaman bukan kantung kresek, pakai popok kain, dan jarang beli baju karena akan lebih memilih diturunkan ke anak-cucu.
Time flies, di kehidupan yang lebih moderen kenapa kita justru meninggalkan hal positif masa lalu? Kenapa plastik seakan adalah solusi agar hidup jadi praktis, tetapi mengesampingkan lingkungan?
Mbak siska juga bilang bahwa kalau mau flashback, leluhur kita sudah menerapkan zero waste pada beberapa aspek kehidupan, seperti cuci baju pakai tangan, mengeringkan baju dengan sinar matahari, ke mana-mana bawa bekal makanan dari rantang, membungkus makanan dan sayuran dengan daun pisang, daun jati, atau besek (yang terbuat dari bambu), ke pasar bawa tas belanjaan anyaman bukan kantung kresek, pakai popok kain, dan jarang beli baju karena akan lebih memilih diturunkan ke anak-cucu.
Time flies, di kehidupan yang lebih moderen kenapa kita justru meninggalkan hal positif masa lalu? Kenapa plastik seakan adalah solusi agar hidup jadi praktis, tetapi mengesampingkan lingkungan?
Foto diambil dari: ecowarriorprincess.net |
Oh ya, mbak siska bilang, kalau
mau mengurangi sampah maka biasakan untuk memasak atau membeli bahan mentah
segar, daripada makanan kemasan atau kalengan. Terus kurangin beli makanan
dengan jasa online, karena pasti akan memproduksi banyak plastik (sebab penjual mau
makanan mereka dalam keadaan terbaik sampai ke pembeli, sementara si driver hanya menjadi penyalur jasa dari penjual ke pembeli), kalau kamu minta
request ke drivernya “jangan pake plastik, zero waste dong", itu
merepotkan orang lain!
Hanya karena kamu malas gerak, kamu malah membuang banyak sampah plastik dan repotin orang lain (yah sekali-kali kalau kepepet ya nggak papa, kalau tiap hari, berapa banyak sampah plastik untuk beli satu kali makan? Kalau bisa beli sendiri dengan membawa wadah sendiri/makan di tempat, itu lebih baik). Keuntungan lain:
Foto diambil dari: rawpixel.com
Sehingga upaya menyelamatkan lingkungan memang harus dimulai dari diri sendiri. Jika diri kita sudah konsisten melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang manusia, maka kita akan menjadi contoh atau setidaknya menginspirasi orang lain. Memulai tidak selalu dari hal besar, namun diawali dari hal-hal kecil yang dilakukan secara terus menerus.
Ingat, mengurangi sampah adalah sebuah proses, kita tidak berorientasi pada hasil.
Luruskan niat, bahwa dengan begini kita sudah berkontribusi menjaga lingkungan. Sekecil apapun langkah kita, walau masih butuh konsistensi, setidaknya itu sudah menunjukkan bahwa kita memang peduli dan mengambil tindakan nyata, menjaga keselamatan ekosistem dan lingkungan.
Kalau bukan kita yang peduli dan memulai, maka siapa lagi?
With Heart,
Rahmita Laily
Sept, 2019
|
Komentar
Posting Komentar